I.
Pendahuluan.
Di
antara beberapa hal yang sangat penting dalam mempelajari hadis ialah
mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis, karena pengetahuan tentang hal itu dapat
menolong memahamkan ma’na hadis secara sempurna, sebagaimana halnya pengetahuan
tentang asbabu’n-Nujul, dapat menolong dalam memahamkan ma’na ayat-ayat
Al-Qur’an. Ibnu Taimiyah berkata : “Mengetahui sebab itu, menolong dalam
memahamkan al-hadis dan ayat”. Sebab mengetahui sebab itu dapat mengetahui
musabbab (akibat).
II.
Rumusan masalah.
·
Ilmu
Asbab Wurud al-Hadis
·
Ta’rif
dan faidah Ilmu Asbabi wurud Al-hadis
·
Macam-macam Asbabul Wurud
·
Cara-cara
Mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
·
Perintis
ilmu ini dan Kitab-kitabnya
III.
Pembahasan
.
1) Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Kata
Asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan
dengan “ al-habl “ (tali),[1] saluran,
yang artinya dijelaskan sebagai:” segala yang menghubungkan satu benda dengan
benda lainnya”.[2]
Menurut
istilah adalah:
كُلُّ شَيْءٍ
يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى غَا يَتِهِ[3]
“Seagala sesuatu yang
mengantarkan pada tujuan”
Ada juga yang mendefenisikan dengan:”Suatu
jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum
itu”. [4]
Sedangkan
kata wurud bisa berarti sampai,
muncul,dan mengalir, seperti:
أَلْمَاءُ أَلَّذِيْ يُوْرِدُ[5]
“Air
yang memancar, atau air yang mengalir”
Dalam
pengertian yang lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan
pengertian asbab wurud al-hadis dengan:
Sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau
khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya” atau, “suatu arti
yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya”[6].
Dari
uraian pengertian tersebut, asbab wurud
al-hadis dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu beliau
menuturkan itu.” Seperti sabda rasul SAW. Tentang kesucian air laut dan apa
yang ada didalamnya. Ia bersabda:”laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Hadis ini dituturkan oleh Rasul SAW. Saat berada ditengah lautan dan ada salah
seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karna tidak mendapatkan air
(tawar). Contoh lain adalah hadis tentang niat, hadis ini dituturkan berkena’an
dengan peristiwa hijrahnya Rasul SAW. Kemadinah. Salah seorang yang ikut hijrah
karena didorong ingin mengawini wanita yang bernama Ummu Qais.
Urgensi
asbab wurud terhadap hadis .sebagai
salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis, sama halnya dengan urgensi asbab nujul Al-quran terhadap al-Quran,
ini terlihat dari beberapa faedahnya ,antara lain, dapat mentakhsis arti yang
umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan illat suatu hukum.
Maka
dengan memahami asbab wurud hadis ini, dapat dengan mudah
memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suatu hadis. Namun
demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua
ayat al-Quran memiliki asbab nujulnya.
2) Ta’rif dan faidah Ilmu Asbabi wurud Al-hadis
Yang
dimaksud dengan Ilmu Asbabi wurud
Al-hadis atau Asbab Al-atsar, ialah
ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadis. Sebagian ulama
berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadis itu
sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan
suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Akan
tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya
tidak tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faidah yang besar sekali dalam
lapangan ilmu hadis. Maka kebanyakan muhadditsin
menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu
hadis dari jurusan matan.
Faidah-faidah
mengetahui Asbab Wurud Al-hadis itu antara lain ialah :
1) Untuk menolong, memahami dan menafsirkan
al-hadis. Sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab
terjadinya sesuatu itu merupakan saran untuk mengetahui musabbab (akibat) yang
ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadis
secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang
latar belakang: nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang
dilakukan dihadapan beliau. Ia merupakan suatu sarana yang kuat untuk memahami
dan menafsirkan al-hadis.
2) Sebagaimana diketahui bahwa lafadz nash
itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk
mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang mentakhshikannya. Akan tetapi
dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhshih yang menggunakan
selain sebab harus disingkirkan. Sebab menyingkirkan takhshih yang berbentuk
sebab ini adalah qath’iy ,sedang mengeluarkan takhshis sebab adalah terlarang
secara ijma’.
3) Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan
syari’at(hukum).
4) Untuk mentakhshishkan hukum bagi orang
yang berpedoman qaidah Ushul-fiqh “Al-ibratu
bikhusuhshi’s-sabab”(mengambil
suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).biarpun dari pendapat
yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “Al-ibratu bi’umumu’i-lafadh,la bikhushusi’s-sabab”(mengambil suatu
ibarat itu hendaknya berdasar pada lafad yang umum, bukan sebab-sebab yang
khusus).
3) Macam-macam Asbabul Wurud
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada
2. Yaitu:
1.
Asbab Wurud Al-khas, yaitu
peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2.
Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua
peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik
peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang
kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa turunnya
hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para
mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah ;
1.
Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah
keumuman lafad, bukan sebab khususnya).
2.
Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab
khusus, bukan keumuman lafad.
Adapun contoh dari kaidah pertama yaitu Hadis tentang
mandi jum’at yang berbunyi:
حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ
يُوْسُفْ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ
عُمَرْ رَضِيَ اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ
عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه البخاري)
Sesungguhnya rasulallah
SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi shalat jum’at, maka
hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari)
Dalam
memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi
SAW, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka
memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung
mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak
diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at.
Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas
mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian
wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau
mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda
: “Wahai kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah
mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”
Jumhurul
ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak factor,
antara lain cuaca panas byang menyebabkan berkerinngat, pakaian wol yang
menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain2. Jika jama’ah tidak mandi
maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis
itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian.
Ketika
keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka
terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika
hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya
gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul
ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum
al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi SAW yang menyatakan “siapa saja
yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya
jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang
diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan
kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama
dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis
tersebut tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan
pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah
hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika
hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa
hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri.
Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa
mempertimbangkan konteks yang menyertainya.[7]
Contoh
kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi ,berdasar4kan
hadis diatas pula maka kita harus melihat pada sebab-sebab yang mengikutinya
sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika menggunakan kaidah ini kewajiban mandi
jum’at diatas hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kondisi latar
belakang yang sama.
4) Cara-cara Mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di antara maudlu’ pokok
dalam ilmu asbabi
Wurudi’l-Hadis
ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis.
Cara-caranya yaitu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan bagi
logika, menurut penelitian Al-Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadis itu ada
yang sudah tercantum didalam hadis itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum
didalam hadis itu sendiri, tetapi tercantum dihadis lain.
Sebagai contoh asbabu wurudi’l-hadis yang tercantum didalam
hadis itu sendiri, seperti hadis abu dawud yang tercantum dalam kitab sunannya,
yang diriwayatkan oleh abu Sa’id al-Khudry, kata Abu Sa’ib :
إِنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اْللَهِ صَلَّي
اْللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوَضَّاءُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ, وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ
فِيْهِ الْخَيْضُ , وَلَحْمُ الْكَلْبِ وَاْلنَّتْنِ فَقَالَ : أَلْمَاءُ طَهُوْرٌ
لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“bahwa beliau
pernah ditanyakan oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan oleh
rasulullah SAW :”apakah tuan mengambil
air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing
dan barang-barang busuk ? jawab rasulullah SAW :”air itu suci, tak ada sesuatu
yang menjadikannya najis”.
Sebab
Rasulullah SAW bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan
dari sahabat, tentang hukum air
yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu
dilukiskan dalam rangkaian hadis itu sendiri.
Contoh
asbabu’l-wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadis itu sendiri, tetapi diketahuinya
dari hadis yang terdapat dilain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti
hadis Muttafaq-‘alaih tentang niyat dan hijrah, yang diriewayatkan oleh ibnu
Umar r.a :
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِاْمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَي مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
.
“.... Barang
siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang
bakal dikawininya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang dihijrahkannya
saja”.
Asbabu’l-Wurud
dari hadis diatas , kita temukan pada hadis yang ditakhrijkan oleh At-thabarany
yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas’ud r.a, ujarnya :
كَانَ بَيْنَنَا رَجُلٌ خَطَبَ إِمْرَةً
يُقَالُ لَهَا ( أُ مُ قَيْسٍ ) , فَأ بَتْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حَتَّي يُهَاجِرَ
, فَهَاجَرَفَتَزَوَّجَهَا . كُنَّا نُسَمِّيْهِ ( مُهَاجِرأمّ قَيْسٍ ).
“Konon pada
jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar kepada seorang perempuan
yang bernama ummu Qais, tetapi perempuan itu menolak untuk dikawininya, kalau
laki-laki pelamar tersebut enggan berhijrah ke madinah. Maka ia lalu hijrah dan
kemudian mengawininya. Kami namai laki-laki itu , Muhajir Ummu Qais”.
5) Perintis ilmu
ini dan Kitab-kitabnya
Perintis
ilmu Asbabi Wurudi’l-hadis ialah Abu Hamid bin Kaznah Al-jubary *).[8]
Kemudian disusul oleh Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad bin Raja’i Al-Ukbury (380-458
H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-husain Al-Farra’
Al-hambaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
Al-Muhaddits
As-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaludin yang terkenal dengan kunyah Ibnu
Hamzah Al-Husainy (1045-1120) mengarang pula kitab asbabi-wurud-hadits dengan
diberi nama “Al-bayan wat Ta’rif fi Asbabi wurudil-hadisisy-syarif. Kitab yang
disusun secara Alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H. diHalab dalam 2 juz
besar-besar.
IV.
Kesimpulan
Asbab wurud
al-hadis adalah kasus yang dibicarakan oleh suatu
hadis pada waktu kasus tersebut terjadi. Kedudukan ilmu ini bagi hadis sama
dengan posisi asbab al-nujul bagi
al-Qur’an al-karim.
Ilmu
ini merupakan suatu jalan yang paling tepat untuk memahami hadis, karena
mengetahui sesuatu sebab akan melahirkan pengetahuan tentang mussabbab.
V.
Daftar
pustaka
SUPARTA,
Munzier, Ilmu Hadis-Ed.Revisi, Cet,
4.-jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003
NURUDDIN,
Itr. Ulumul hadis (Manhaj An-Naqd Fii
‘Uluum Al-Hadits), Cet, 1-Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2012
AL-JARKHONI, Manahil al-irfan fi ulumul Qur’an, Darul
kutub al-arabiyah.
ASH-SHIDDIEQY, Teungku Muhammad hasbi, sejarah dan pengantar
ilmu hadis, Semarang: Pustaka rizki
putra, 2001
MUNAWWAR,said aqil Husain dan abdul mustaqim, Asbabu
wurud studi kritis hadis nabi pendekatan sosio-historis-kontekstual, Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2001
[1] At-thahanawi, kasyf ishtilah Al-funun, Ijilid 111, (Kairo;
Al-Hay’at Al-ammah li Al-Kuttab, t,t.), hlm. 127
[2] Ibn AL-Manzhur, op.cit.,
jilid 1,(Bulaq, t.t.), hlm, 440-442.
[3] At-thahanawi, loc.cit.
[4] Ibid.
[5] Ibnu Manzhur, op,cit,
jilid 1V ,hlm. 471.
[6] Al-suyuthi, lubab Al-nuqul fi Asbab Al-Nuzul, yang
menjadi catatan pinggir dalam kitab tafsir Abu thahir ibn Ya’qub Al-fairuz
Abady, Tanwir Al-miqyas min Tafsir ibn
abbas, (Beirut:Dar Al-fiqr,t.t), hlm, 5.
[7] Ibid, Hlm
137-138
[8] *). Dalam naskah Al-fiyatus-Suyuty, syarah
Muhammad Mahfudh At-turmusy tertulis “Al-jubany”, Tetapi dalam
Al-fiyatus-suyuty, syarah Ahmad Muhammad Syajir tertulis “Al-jubary”.
0 comments:
Post a Comment