Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits 2
Dosen Pengampu: Muhtarom M,Ag
Disusun
Oleh :
AULATUN NI’MAH (104211062)
FATHUL JAMAL (104211064)
MUHAMMAD RIF’AN (104211070)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada
dua dalil yang saling bertentangan, maka dapat digunakan metode tertentu untuk
menyelesaikannya. Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan empat metode penyelesaian: 1)
An-Nasakh, 2) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dapat
dilakukan jika masa turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui. Namun dalam
melakukan tarjih, seorang mujtahid harus mengemukakan argument yang membuat
satu dalil lebih kuat dibandingkan dengan dalil lainnya. 3) Al-Jam’u
wa al-Taufiq, yaitu menggabungkan dalil yang bertentangan dan kemudian
mengkompromikannya. Metode ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih
tidak berhasil. Metode ini didasarkan atas kaidah fiqh “mengamalkan kedua dalil
lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. 4)
Tasaqu al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila
ketiga cara di atas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh
menggugurkan kedua dalil tersebut. Adapun cara penyelesaian dua dalil yang
bertentangan menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan al-Dhahiri
adalah sebagai berikut: 1. Al-Jam’u wa al-Taufiq 2. Tarjih. 3. An-Nasakh.
4. Tasaqu al-Dalilain. Menurut mereka keempat cara ini harus ditempuh oleh
mujtahid secara berurutan.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Nasikh Mansukh
Secara etimologi kata Nasikh adalah
bentuk isim fa’il, dari madli نسخ yang mempunyai beberapa makna,
yaitu الإزا لة (meng-hilangkan) seperti kata نسخت الشمس الظلّ (mata hari itu
menghilangkan naunganya). Dan النقل (memindahkan) seperti
kaliamat نسخت الكتاب (aku memindahkan apa yang ada di
dalam buku). Jadi Nâsikh itu menghilangkan yang mansukh atau
memindakannya pada yang lain. Sedangkan mansukh
adalah hukum yang di angkat atau dihapuskan.[1]
Sedangkan secara terminology para ahli hadis
dan ushuliyun memberikan definisi yang berbeda namun subtansinya adalah
sama. Seperti yang diberikan oleh Mahmud al-Thahhân:
رَفْعُ الشَّارِعِ حُكْماً شَرْ عِيٍّ
مُتَرَاخٍ عَنْهُ
Artinya
: “Syari’
mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara’ dengan menggunakakn dalil syar’i
yang datang kemudian”
Konsekuensi
dari pengertian tersebut adalah bahwa menerangkan nash yang mujmal,
mentakhsiskan yang ‘am, dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah dikatakan nasakh.
Mengenai nasakh mansukh
dalam ilmu hadits Para muhadditsin memberikan gambaran tentang ilmu hadits
nasikh dan mansukh seperti keterangan Suyuti.
النَسْخُهُوَ رَفْعُ الشَّارِعِ حُكْمًا مِنْهُ مُتَقَدِّمًا
بِحُكْمٍ مِنْهُ مُتَأَخِّرٍ
Artinya : “ naskh
adalah Penghapusan hukum yang yang terdahulu oleh pembuat hukum (syari’) dengan
mendatangkan hukum yang baru“.[2]
Perintis ilmu ini adalah
Asy Syafi’i dilanjutkan oleh Ahmad Ibn Ishaq Ad Dinari (w. 318 H ), Muhammad
Ibn Bahar al-Ashbahani (w. 322 H), Ahmad Ibn Muhammad An Nahs (w. 338 H),
Muhammad Ibn Musa Al Hazimi (w. 584 H) menyusun kitab Al-I’tibar, yang
telah diikhtisarkan oleh Ibn ‘Abd Al Haq (w. 744 H).
Kitab-kitab yang disusun
tentang Nasikh Mansukh hadits, diantaranya yaitu : An Nasikh wa Al Mansukh, karya
Qatadah bin Di’amah as Sadusi (w. 118H), namun tidak sampai ketangan kita, Nasikh
Al Hadits wa Mansukhihi, karya Al Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhamaad al
Astram (w. 261 H), Imam Ahmad, Al I’tibar fi An Nasikh wa Al Mansukh min Al
Atsar, karya Imam Al Hafidz an Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al
Hazimi al Hamadani (w. 584 H), An Nasikh wa Al Mansukh, karya Abdul
Faraj Abdurrahaman bin Ali, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Al Jauzi.[3]
B.
Urgensi Ilmu
Nasikh Mansukh
Salah satu cabang pengkajian Ilmu
Hadits yang terpenting utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu
Ilmu Nâsikh dan
Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu
syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang
dalil secara hukum khususnya hadits yang akan dijadikan azas hukum.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata :
”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui
bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk
memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli
itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang
menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak
banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya.
Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang
tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang
terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna.”
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui nasakh
dan masukh mempunyai keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan
sulit sebagaimana ungkapan al Zuhri: “ yang paling memberatkan dan menguras
tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah dimansukh dari
dengan hadits yang manasihknya”. Imam syafii seorang yang terkenal
dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi
dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum
tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis
sangat besar, Imam Syafi’i, imam Hambali dan para imam yang lain begitu
menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman
hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan
ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya,
imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan
mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya,
mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini.[4]
C. Cara Mengetahui Nasikh Mansukh dan Contohnya
Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut :
1. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits ;
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ
فُزُوْرَهَا
“semula aku melarangmu untuk
berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah “.
2.
Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti
hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
كَانَ
اخِرَ الامْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ص.م. تَرْكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ
النّأرُ
“dua perintah terakhir
Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang
tersentuh api”. (HR.Abu
Dawud dan al Nasa’i )
3.
Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin
‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam batal puasanya”
Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau
sedang berpuasa “.
Dengan demikian, jelas bahwa
hadits yang pertama (hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota
Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas )
terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang
kedua merupakan Nasikh bagi hadits yang pertama.[5]
D.
Hikmah Nasikh
1.
Memelihara kepentingan hamba.
2.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika
beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[6]
III.
PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa ilmu Nasikh
mansukh hadits adalah ilmu yang membahas
hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya, tidak mungkin dapat
dikompromikan dari segi hukum, dengan cara menentukan salah satu hadits sebagai
nasikh (penghapus) dan hadits yang lain sebagai mansukh (yang dihapus), hadits
yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai
nasikh.
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Kurang lebihnya kami mohon maaf. Dan semoga bermanfaat bagi kita
semua. Amieeeeeeeeeeeeeeeeeen,,,
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Mudzakir AS, Manna’ khalil al-Qattan Mabahis
fi ulum al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2009
Khalaf , Abdul Wahab, Ilmu Usul al-fiq Dar al-Rashid,
Suparta , Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta
: PT :Raja Grafindo Persada, 2003
Solahhudin , M Agus dan Agus Suryadi, Ulumul Hadits , Bandung : CV.
PUSTAKA SETIA, 2011
‘Itr , Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung : PT : Remaja Rosdakarya,
2012
http://www. tafsir hadits
nasikh mansukh. html
0 comments:
Post a Comment